Berita sepakbola lokal dan nasional beberapa hari ini mewartakan demonstrasi suporter Persijap Jepara yang ditengarai sebagai ekspresi kekecewaan terhadap kepemimpinan Diva sebagai pelatih Laskar Kalinyamat. Performa tim yang belum memuaskan, dan raihan 1 point di dua laga kandang membuat kubu pecinta bola Jepara was-was terhadap nasib Persijap selanjutnya di ISL musim ini. Hal itulah yang membuat suporter Persijap memberi pressure terhadap Diva untuk angkat kaki dari Kota Ukir, atau tekanan pada manajemen untuk memecat Diva dari Laskar Kalinyamat.
Dilihat dari proyeksi manajemen yang ambisius di musim ini, dan torehan prestasi Persijap di dua musim ISL digelar, pressure suporter terhadap Diva, Manajemen, dan Evaldo cs saya pikir sah-sah saja. Apalagi beberapa media olahraga nasional juga memprediksi musim ini Laskar Kalinyamat akan menyodok ke posisi yang lebih bagus. Hal ini tentu saja membuat Persijaplovers mempunyai ekspektasi lebih terkait prestasi Persijap di musim ini. Sayangnya, harapan itu terancam hanya akan menjadi mimpi di siang bolong jika melihat realita permainan Anam Syahrul cs di lapangan.
Dewasa ini, suara suporter yang kian membahana adalah akumulasi kekecewaan yang semua itu semestinya bermuara pada manajemen, tidak hanya pada Diva. Ada beberapa hal yang masih menyisakan pertanyaan di benak suporter: “Kenapa manajemen merekrut Diva? Kenapa tidak mengambil Patrick Valley ? Kenapa tidak merekrut Domingue yang bermain aktif? Kenapa juga menafikan Amarildo Souza yang ternyata masih bermain cantik? Kenapa justru mengambil Javier Perez yang tidak qualified? Dan kenapa juga mempunyai ambisi berlebihan?!”
Beberapa kebijakan manajemen terkait rumusan permasalahan di atas mungkin sudah bisa diterjemahkan oleh sebagian suporter Persijap, namun beberapa suporter yang lain banyak yang tidak menyadarinya. Mencermati rumusan permasalahan di atas, ada beberapa hipotesis dari saya terkait kasus yang menimpa Persijap sekarang.
Pertama; Keputusan menerima Diva Alves lebih pada harga kontrak yang jauh lebih murah dibanding para pelatih lainnya, meskipun manajemen tidak tahu track reccord Diva selama menjadi pelatih. Hal ini mungkin karena manajemen berkaca pada keputusan musim-musim sebelumnya yang mengontrak Junaidi, yang saat itu juga masih belum menjadi apa di jagad kepelatihan Indonesia dan kini menjadi salah satu pelatih yang famous. Ironisnya, kebijakan ini justru merefleksikan keangkuhan manajemen yang seakan-akan ingin melakukan politik pencitraan terhadap seorang pelatih yang from zero to hero. Kebijakan ini adalah kesalahan pertama manajemen yang berspekulasi, mengontrak ‘pelatih’ dalam karung.
Kedua; Keputusan tidak mengontrak Domingue karena faktor ewoh-pakewuh, sebab pemain tersebut dibawa oleh Arnaldo Villalba yang juga ikut seleksi namun justru tidak qualified. Sebagai manajemen yang profesional, harusnya Anwar Hariyono mengedepankan urusan klub ketimbang urusan hati Arnaldo Villalba hanya karena kausal sungkan. Lagi-lagi ini menjadi kesalahan yang nyaris fatal karena lini tengah Persijap saat ini nyaris tidak bisa menopang lini depan Persijap yang saat ini masih labil. Enjang Rohiman, seperti yang kita ketahui, adalah tipe pemain tengah yang lebih pada titik pertahanan sentral, jadi merekrut Javier Perez, pemain tengah yang mempunyai tipikal sama adalah sebuah blunder. Karena lini tengah Persijap butuh sosok seperti Gerrard di Liverpool, yang mempunyai kemampuan sama baiknya untuk membantu bertahan dan menyerang, dan tipe itu ada dalam sosok Domingue yang justru dilepas saat pemain itu dikagumi publik bola Jepara.
Ketiga; masih dalam permasalahan posisi lini tengah Persijap yang seperti kue donat yang bolong. Kembalinya Amarildo Souza di bursa seleksi Persijap, harusnya menjadi keuntungan tersendiri, karena salah satu strategi psikologis Diva adalah menyatukan komposisi pemain muda dengan pemain senior. Namun manajemen lagi-lagi justru menutup mata terkait Amarildo Souza yang masih skillfull meski di usia kepala tiga.
Keempat; Ambisi dan target prestisius yang diproyeksikan manajemen pada Diva Alves untuk membawa Persijap di lima besar ISL membuat ekspektasi berlebihan para suporter. Anehnya, Diva Alves justru menyambut target itu dengan over convidence tanpa mengetahui ketatnya emulasi di ISL. Anehnya lagi, hal itu tidak diimbangi dengan komposisi pemain yang ideal untuk merealisasikan target itu. Hal ini membuat kalangan suporter ragu dan ujung-ujungnya kecewa. Imbasnya, penampilan labil yang disuguhkan Guti Riberio cs membuat harapan suporter yang sudah terlanjur terbang tinggi terancam hanya menjadi utopian belaka. Inilah yang membuat suporter marah besar.
Raihan posisi yang prestisius dengan dana yang minim plus komposisi pemain yang sederhana, bagi Persijap mungkin menjadi hal yang biasa dalam sejarah dua musim di ISL. Di musim 2008-2009 Persijap finish di posisi 10 besar, dan di musim 2009-2010 Persijap finish di posisi 9, satu strip di atas musim sebelumnya. Namun perkembangan sepakbola tidak bisa dilakukan hanya dengan berkaca pada ‘keberuntungan’ di dua musim sebelumnya. Bagaimana pun juga seharusnya manajemen sadar bawah finish di urutan 10 dan 9 di dua musim lalu lebih pada sisi fortunely Persijap yang akrab dengan Dewi Fortuna. Prestasi yang ditarget 5 besar musim ini adalah target yang istimewa. Manajemen harus sadar diri, apalagi jika mengingat tim-tim lain yang memasang target sesuai dengan kemampuan realistisnya.
Penulis : Yanuar Aris Budiarto (YAB), pemain keduabelas Persijap Jepara.
Photo by : Budi Cahyono
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar:
Posting Komentar